Kamis, 01 Desember 2011

PENERAPAN GOOD GOVERNANCE PADA PEMERINTAH KABUPATEN BREBES MELALUI REFORMASI BIROKRASI (STUDI KASUS PADA KECAMATAN PAGUYANGAN DENGAN KECAMATAN BREBES)

A. PENDAHULUAN

1.      LATAR BELAKANG MASALAH
Pada dekade akhir abad 20 dan dekade awal abad 21 Indonesia dihadapkan pada tuntutan demokrasi, desentralisasi dan globalisasi. Demokratisasi politik dan pemerintahan desentralisasi tidak hanya menuntut profesionalisme dan kemampuan aparatur negara dalam pelayanan publik. Akan tetapi secara fundamental menuntut terwujudnya budaya pemerintahan yang baik dan bersih (good governance and clean governance cultures). Sedangkan globalisasi menyentuh berbagai aspek juga menuntut reformasi sistem perekonomian dan pemerintahan, termasuk birokrasinya. Hal tersebut memungkinkan interaksi perekonomian antardaerah dan bangsa berlangsung efisien. Maka dari itu, kunci keberhasilan pembangunan ekonomi dan pemerintahan antara lain mengacu pada proses dan kualitas pelayanan publik (Sedarmayanti, 2004).
Upaya menuju keberhasilan pembangunan membutuhkan satu prasyarat yang harus dikembangkan. Prasyarat tersebut adalah komitmen yang tinggi untuk menerapkan nilai luhur peradaban bangsa dan prinsip “good governace” (kepemerintahan yang baik) sebagai budaya dalam mewujudkan tujuan dan cita-cita bangsa Indonesia. Good governance menjadi orientasi proses penyelenggaraan kekuasaan negara dalam menyediakan public goods and services. Good Governance juga dijadikan sebuah “budaya”, karena merupakan suatu konstruksi mental, semacam peta kognitif yang memberikan kepada individu sebuah aturan-aturan yang dijadikan pedoman dalam perilakunya yang tepat dalam berbagai konteks sosial (Goodenough, dalam Joyomartono: 2008).
Guna menuju kepemerintahan yang baik, ternyata implementasi program Good governance pada periode lalu, belum mendapat jawaban. Program tersebut dapat dikatakan gagal, mengingat berbagai fenomena destruktif terjadi pada birokrasi di Indonesia. Dalam Grand design dan Road Map  Reformasi birokrasi 2010-2025, disebutkan beberapa permasalahan umum birokrasi di Indonesia yang antara lain peraturan perundang-ungangan dibidang aparatur negara masih overlapping, dan tidak relevan. Mind-set dan culture-set birokrasi belum profesional. Praktik menejemen SDM belum optimal. Distribusi PNS belum merata  dan proporsional dilihat dari segi geografis. KKN masih tinggi yang terjadi pada semua sector, serta kualitas pelayanan publik yang belum dapat memenuhi harapan masyarakat luas (PAN & RB, 2010).  Oleh karena itu, pemerintah kini mencanangkan program baru sebagai senjata untuk menghadapi krisis multidimensi. Program tersebut adalah “Reformasi Birokrasi”.

Reformasi Birokrasi bukan hanya menuntut perubahan struktur dan reposisi birokrasi, tetapi lebih komprehensif, yaitu ekonomi, politik, sosial dan budaya serta hukum. Namun, pada utamanya, reformasi birokrasi menuntut pembaharuan pada tiga aspek, yaitu kelembagaan, ketatalaksanaan, dan sumber daya manusia aparatur (PAN&RB, 2010).
Reformasi birokrasi diharapkan dapat mewujudkan kinerja birokrasi secara efisien dan efektif dalam melaksanakan tugas. Terutama yang paling dapat dirasakan langsung oleh masyarakat adalah hal teknis yang berkaiatan dengan pelayanan, seperti pelayanan kesehatan dan perijinan (Humas Bappenas dalam www.bappenas.go.id). Tercapainya reformasi birokrasi, nantinya akan mengalir pada tercapainya birokrasi yang mewujudkan kepemerintahan yang baik (Good Governance).
Pelaksanaan Reformasi Birokrasi yang ditargetkan dari tahun 2010 sampai 2025 tentu saja terdapat pelbagai tantangan. Sepertihalnya saat implementasi program Good Governance, pada Kabupaten Brebes terjadi sebuah benturan karena adanya surat edaran bupati yang mengharuskan sentralisasi informasi (Junaedi, 2008). Seluruh informasi dan komentar hanya diakses dari satu pintu yaitu humas Kabupaten Brebes. Sedangkan humas tersebut belum dilengkapi basis data dan kemampuan yang memadai. Kebijakan sentralisasi informasi juga melemahkan kapasitas kehumasan di dinas-dinas maupun kecamatan, sehingga informasi sulit dipahami dan dimengerti masyarakat luas.
Bayang-bayang birokrasi pemerintahan yang diartikan sebagai officialdom (kerajaan birokrasi) juga masih melekat pada masyarakat luas (Thoha, 2007). Padahal, pelaksanaan reformasi birokrasi memerlukan partisipasi positif dan kesatuan antara pihak birokrat sebagai government sekaligus governance, dan masyarakat pada umumnya.
Pengimplementasian program Reformasi Birokrasi saat ini, berada dalam fase transisi dari program Good Governance menuju Reformasi Birokrasi. Pada fase ini sangat potensial memunculkan disorganisasi dan menurunnya kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Hal tersebut akan terjadi jika tidak ada kesepahaman konsep mengenai kepemerintahaan yang baik dalam implementasi program reformasi birokrasi ini.
Berdasarkan latar belakang tersebut, akan dilakukan penelitian untuk skripsi mengenai budaya Good Governance dalam pelaksanaan program Reformasi Birokrasi di Indonesia. Lebih fokusnya studi antropologis pada pemerintah Kecamatan Paguyangan dan Kecamatan Brebes.  Pemilihan kedua tempat tersebut didasarkan pada keterjangkauan jarak / akses menuju pusat pemerintahan tingkat kabupaten. Kecamatan Paguyangan berada pada ujung timur dan berkarakter sebagai wilayah rural (pedesaan) dan jauh dari pusat pemerintahan tingkat kabupaten. Sedangkan Kecamatan Brebes berada pada barat laut dan berkarakter sebagai wilayah urban (dekat perkotaan) serta dekat dengan pusat pemerintahan tingkat kabupaten (Bappeda, 2008). Hal ini penting untuk dilakukan pengkajian, karena menunjukkan kepedulian dan partisipasi dalam implementasi Reformasi Birokrasi dalam mencapai budaya good governance. Adapun judul penelitian skripsi yang diangkat yaitu: “PENERAPAN GOOD GOVERNANCE PADA PEMERINTAH KABUPATEN BRERES (STUDI KASUS PADA KECAMATAN PAGUYANGAN DENGAN KECAMATAN BREBES)




2.      PERUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang di atas maka dapat ditarik beberapa rumusan masalah, yaitu sebagai berikut:
1)      bagaimanakah pemahaman Good Governance pada pemerintah Kecamatan Paguyangan dan Kecamatan Brebes?
2)      bagaimanakah pemahaman Good Governance dari perspektif masyarakat?
3)      sejauhmana pelaksanaan budaya Good Governance pada birokrasi pemerintah kecamatan Paguyangan dan Kecamatan Brebes?

3.      TUJUAN PENELITIAN
Berdasarkan rumusan masalah, maka studi ini bertujuan untuk:
1)      menjelaskan pemahaman Good Governance pada pemerintah Kecamatan Paguyangan dan Kecamatan Brebes.
2)      menjelaskan pemahaman Good Governance dari perspektif masyarakat.
3)      menjelaskan sejauhmana pelaksanaan Good Governance pada birokrasi pemerintah kecamatan Paguyangan dan Kecamatan Brebes.

4.      MANFAAT
Adapun manfaat yang akan diperoleh dari penelitian ini, baik secara teoritis maupun secara praktis antara lain:
4)      Secara teoritis yaitu menambah khasanah ilmu pengetahuan, khususnya kajian sosiologi dan antropologi pemerintahan. Mengetahui fenomena sosial, budaya dan  politik yang terjadi dalam kepemerintahan dan masyarakat di Kabupaten Brebes, serta melahirkan model sistem birokrasi yang didasari kajian antropologis.
5)      Secara praktis dari hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan literatur bagi pemerintah Kabupaten Brebes dalam menjalankan dan memberikan pelayanan terhadap publik. Disisi lain juga membantu pemerintah Kabupaten Brebes dalam evaluasi pelayanan kepada masyarakat.

B.     TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI
1.      TINJAUAN PUSTAKA
a.      Birokrasi Di Indonesia
Pelbagai penelitian bertema pelayanan birokrasi dalam pemerintah telah dilakukan oleh para ahli. Hal tersebut juga melahirkan hasil-hasil dan teori yang dimanfaatkan dalam pelbagai kajian. Seperti tokoh besar yang menghasilkan teori birokrasi, yaitu Max Weber dan Karl Marx. Marx menempatkan birokrasi secara diametris yang berlawanan dengan Hegelian Bureaucarcy. Menurut konstruksi Marx, birokrasi sebagai state administration, memainkan peranan sebagai penindas kelas kapitalis. Birokrasi juga bukan sebagai katalis. Namun sebagai parasitik dan misinya mempertahankan status quo hubungan sosial eksploitatif (Moeljarto dalam Azhari: 1994).
Birokrasi kepemerintahan seringkali diartikan sebagai officialdom. Didalamnya terdapat seseorang yang mempunyai tugas dan tanggungjawab resmi (official duties) yang memperjelas batas-batas kewenangan pekerjaan. Mereka juga memiliki jabatan yang berkekuasaan dan membentuk sebuah hierarki. Diluar hierarki mereka terdampar rakyat yang powerless dihadapan pejabat birokrasi tersebut. Birokrasi juga seringkali disebut kerajaan yang jauh dari rakyat (Thoha, 2007).
Menurut Budiman dan Ufford (1988); Coleman (2008), birokrasi seperti yang digambarkan oleh Weber merupakan birokrasi yang ideal, yang dibimbing oleh prosedur tertulis bersifat pragmatis untuk menyelesaikan tugas seefektif dan seefisien mungkin. Birokrasi Weber merupakan bentuk birokrasi yang selama ini diterapkan. Namun, pada kenyataannya, tersusup vested interest birokrat. Hal tersebut juga terjadi pada semua aras.
Banyak permasalahan birokrasi di Indonesia selama ini yang mengemuka dalam rangka penyelenggaraan negara dan pembangunan nasional. Permasalahan tersebut diantaranya yaitu tatanan organisasi dan manajemen pemerintah pusat yang belum mantap. Desentralisasi yang menyulitkan koordinasi. Format perangkat pemerintahan di daerah yang duplikatif. Kompetensi aparatur yang memprihatinkan. Agenda kebijakan yang tidak efektif dalam menghadapi permasalahan dan tantangan pembangunan bangsa. Serta lemahnya pelayanan prima adan disiplin aparatur, termasuk penegakan hukum (Mustopadidjaja, 2001).
Susanto (2004) menyatakan tiap kali mendengar kata “birokrasi” yang terfokus adalah berbagai prosedural rumit serta tidak efisien tentang penyelesaian surat-surat berkenaan dengan pemerintah. Birokrasi dipandang sebagai sistem dan alat pelayanan publik dari pemerintah yang amat buruk. Albrow (2005) menegaskan dari abad ke-18 telah terjadi keluhan birokrasi yang tidak menguntungkan kepentingan masyarakat.
Mengacuan pada Albrow, Said (2007) melakukan penelitian dan menghasilkan lima pandangan tentang birokrasi dalam pemerintahan sebagai pelayanan masyarakat : (1) Bureaucracy Equals Corruption. (2) Bureaucracy Equals Inefficiecy and Incompetence. (3) Bureaucracy Equals Size. (4) Bureaucracy Equals Perfed Administrative Rationality. (5) Bureaucracy Equals Something Else.
Penelitian oleh Albrow ataupun Said didasarkan dari penelitian yang pernah dilaksanakan Peter. Peter (1986) mengidentifikasi beberapa dalih atau alasan yang secara umum dipakai oleh birokrasi ketika birokrasi ingin mengelak dari keharusan untuk segera mengambil tindakan : “(1) Kita harus mendapat ijin tertulis terlebih dahulu dari atasan, (2) Anda terlebih dahulu harus mengajukan surat permohonan. (3) Itu diluar wewenang kami. (4) Surat permohonan anda sudah kami masukkan ke arsip.”
Birokrasi mempunyai citra buruk (the bad of bureaucracy), terutama dalam praktek pelayanan publik dalam pelaksanaan tugasnya. Hal tersebut ditegaskan Said (2007) terjadi di negara-negara yang sedang berkembang mewarisi tradisi birokrasi yang korup dan kurang berpihak pada rakyat yang dilayani. Citra buruk tersebut membuat konsekuensi terhadap kritikan-kritikan yang terbangun negatif. Turner dan David (2002): ”(Bureaucracy) evokes the slowness, the ponderousness, the routine, the complication of procedure, and the mal-adapted responses of bureautics organization wich their member, ulients or subject consequently endure.” Pengidentikan birokrasi dengan pelbagai hal yang bernada negatif memang bukanlah sesuatu hal yang baru. Bagi para ahli, birokrasi tetap memiliki variasi konotasi, tergantung kelompok sosial yang menyampaikan keluhan.

b.      Etika Dan Budaya Birokrasi Di Indonesia
Budaya birokrasi merupakan karakteristik kolektif masyarakat dalam menghayati dan memperlakukan birokrasi (tidak terbatas pada perilaku aparatur birokrasi). Sementara etika birokrasi merupakan karakter individu atau kelompok individu (aparatur) dalam memahami dan memperlakukan kewenangan dan tugasnya sebagai aparatur birokrasi (Said, 2007).
Perilaku birokrasi sebagai etika dan budaya birokrasi di Indonesia didasarkan pada Pancasila, dan dinamai dengan birokrasi Pancasila (Thoha, 2002). Namun, dalam implementasinya, belum menunjukkan pada nilai-nilai Pancasila. Masyarakat yang dilayani juga belum memberikan apresiasi positif pada kinerjanya.
Djani, Pandie, dan Rani (2010) melihat budaya birokrasi patrimonial merupakan gejala yang sulit dihilangkan dalam birokrasi Indonesia. Kelompok-kelompok dalam masyarakat muncul dan menentukan jalannya rekruitmen birokrasi. Meskipun telah ada arahan ke dalam budaya rasional dalam konsep good governance, budaya tradisional yang negatif masih eksis didalamnya.
Masyarakat bangsa Indonesia dilihat oleh Koentjaraningrat (1988) memiliki mentalitas-mentalitas yang kebanyakan bersifat destruktif. Mental suka menerobos, dalam birokrasi sangat kentara terlihat. Seperti halnya KKN yang masih tinggi pada semua sector yang dilakukan oleh oknum birokrasi (PAN&RB, 2010).
Upaya penciptaan Good governance sangat dipengaruhi adanya komitmen dan national leadership. Komitmen dan national leadership ini menjadi kunci keberhasilan Good governance. Di Jerman pada tahun 1867 (Prasojo, dalam Prasojo dan Kurniawan, 2008), Otto von Bismarck memiliki peran besardalam proses pembaharuan birokrasi Jerman. Komitmennya telah melahirkan pemikir-pemikir Birokrasi dunia, seperti Max Weber dan Otto von Meyer. Dua arah yang harus dituju dalam penciptaan Good governance di Indonesia, menurut Prasojo dan Teguh (2010) yaitu komitmen untuk modernisasi birokrasi, penegakan dan supremasi hukum. Keduanya harus diberikan kepada semua pihak terutama pengemban birokrasi.
Secara internasional, citra atau reputasi budaya birokrasi dari pemerintah Indonesia dilihat banyak korup, tidak jelas tatanan standarnya, tidak efisien, lemah dalam sistem pelayanan masyarakat dan kaku (Said, 2007). Anwari (2003) juga mengatakan, birokrasi pemerintah bagian dari “governance” tidak berfungsi sebagai agen negara untuk mempertemukan secara utuh kepentingan rakyat dan kepentingan pemerintah. Birokrasi justru berfungsi sebagai “broker” yang mengambil keuntungan dalam proses intermediasi kedua belah pihak sekaligus. Jika demikian terjadi gap (kesenjangan) antara fungsi agen negara sesungguhnya dengan praktiknya.
Gap-gap tersebut memungkinkan terjadi dalam tiap aspek good governance (UNDP dalam Soedarmayanti, 2003) yaitu parcitipation, rule of law, transparency, responsiveness, consensus orientation, equity, effectiveness and efficiency, accountability, serta strategic vision. Sedangkan aspek-aspek tersebut berimplikasi pada penilaian kualitas pelayanan yang didasarkan pada lima dimensi yaitu tangibility, reliability, responsiveness, assurance dan empaty sebagai bagian dari akuntabilitas publik (Nurcaya, 2010).
Penelitian Islamy (1998) mengasumsikan budaya birokrasi governance Indonesia memiliki vested interest, lemah perekrutan, kabur akan code of conduct, dikotomi paradigma manajemen pelayanan publik dan ketidakadilan politik kesejahteraan karyawan. Posisi birokrasi di Indonesia oleh mata internasional menempati posisi bawah, hal ini dikarenakan meningkatnya skor governance dan “nilai merah” dalam praktek birokrasi.

c.       Reformasi Birokrasi
Pelbagai agenda dilaksanakan oleh segenap jajaran pemerintah dalam menanggapi positif program baru reformasi birokrasi. Program reformasi birokrasi ini launching pada tanggal 7 Juli 2010 oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN&RB) (www.menpag.go.id).
Menteri PAN, EE Mangindaan dalam peluncuran Program Reformasi Birokrasi menuturkan bahwa Reformasi Birokrasi dapat diukur dari Sembilan hal. Ukuran yang pertama, tidak ada penyimpangan administrasi hingga keuangan. Kedua, tidak ada lagi pelanggaran. Ketiga,program dan anggaran kerja harus sesuai dengan kemampuan financial Negara. Keempat, tepat sasaran. Kelima, perizinan sesuai dengan permintaan para stakeholder. Keenam, komunikasi dengan public. Ketujuh, waktu kerja harus efektif dan produktif. Kedelapan, adanya punishment dan reward. Kesembilan, kinerja sesuai dengan tugas dan fungsi (Zubaidah, 2010).
Reformasi birokrasi sangat relevan mengingat ketidakmampuan pemerintah untuk melakukan perubahan struktur, norma dan nilai serta regulasi. Orientasi kolonial yang ada juga telah menyebabkan gagalnya upaya pemenuhan aspirasi dan kebutuhan masyarakat. Pemerintah masih belum tercipta dalam budaya pelayanan public yang berorientasi kepada kebutuhan pelanggan (service delivery culture) (Prasojo dan Kurniawan, 2008). Reformasi birokrasi selain relevan untuk segera diimplementasikan, jika melahirkan birokrasi baru yang kuat maka sangat vital dalam mencapai integrasi dan pembangunan nasional (Zauhar, 2002).
Implementasi Reformasi Birokrasi mengarahkan pada kesinergian dan kecakapan government. Agenda sosialisasi dan pelatihan banyak dilakukan. Dirjen Imigrasi mengadakan kerjasama dengan Universitas Indonesia untuk mengadakan pelatihan dalam bidang reformasi birokrasi (www.imigrasi.go.id). Diklatpim dan pembinaan PNS secara menyeluruh juga dilaksanankan oleh Pemerintah Kabupaten Brebes dalam waktu sebelum reformasi birokrasi diluncurkan (Junaedi, 2008).
Di beberapa daerah menurut Prasojo dan Kurniawan (2008), agenda besar dalam kaitan Reformasi Birokrasi sudah sampai pada tahap sebagai berikut
a)      Modernisasi manajemen kepegawaian
b)      Restrukturisasi, downsizing dan rightsizing, perubahan manajemen dan organisasi
c)      Rekayasa proses administrasi pemerintah
d)     Anggaran berbasis kinerja dan prosses perencanaan yang partisipatif
e)      Hubungan-hubungan baru antara pemerintah dan masyarakat dalam pembangunan dan pemerintah.
Berdasarkan beberapa kajian yang dilakukan oleh para peneliti, birokrasi di Indonesia menunjukkan kegagalan. Dalam program penelitian ini, peneliti akan melihat Good Governance bukan sebagai sebuah konsep tunggal. Namun kesatuan dari dua karakter atau  posisi yang berbeda, yaitu sudut pandang pemerintahan dan sudut pandang masyarakat.

2.      LANDASAN TEORI
Teori sebagai landasan untuk menganalisis data hasil penelitian adalah menggunakan teori Fungsionalisme Struktural. Teori tersebut dipilih karena diasumsikan relevan untuk mengkaji secara mendalam dan komprehensif mengenai implementasi Good Governance melalui Reformasi Birokrasi pada Kecamatan Paguyangan dan Kecamatan Brebes.
Teori Fungsional berasal dari pemikir besar yang terdiri dari Robert K. Merton (empirik), JC. Alexander (neofungsionalism) dan Luhman (Fungsionalisme sistem). Pendukung teori fungsionalisme, pada pokoknya bemberikan inti bahwa masyarakat hidup dalam sebuah sistem dan melakukan fungsi-fungsi agar tetap eksis (Salim, 2007).
Teori fungsional melahirkan pemikir-pemikir baru yang menyempurnakan menjadi teori fungsionalisme structural. Talcott Parson’s dalam teori ini memandang kenyataan sosial dari perspektif yang sangat luas, tidak terbatas pada tingkat struktur sosial saja.
Bahasan Fungsionalisme Struktural yang diangkat Parson’s menekankan empat fungsi penting untuk semua sistem “tindakan” dan dikenal dengan skema AGIL (Salim, 2007; Ritzer & Douglas, 2005). AGIL merupakan sebuah fungsi (function) yang merupakan kumpulan kegiatan yang ditujukan kearah pemenuhan kebutuhan tertentu / kebutuhan sistem.
Beracuan dari definisi tersebut, Parson’s yakin bahwa AGIL (Adaptation, Goal attaintment, integration, and latency) diperlukan semua sistem. Secara bersama-sama keempat aspek tersebut saling berkaitan. Agar tetap bertahan, suatu sistem harus memiliki empat fungsi atau aspek ini.
1)      (A) Adaptation = Adaptasi
Adaptasi merupakan sebuah sistem fungsi yang harus menanggulangi situasi eksternal yang gawat. Sistem harus menyesuaikan diri dengan lingkungan dan dengan kebutuhannya.
2)      (G) Goal attaintment = Pencapaian Tujuan
Sebuah sistem fungsi harus mempunyai dan mencapai tujuan.



3)      (I) Integration = Integrasi
Integrasi merupakan fungsi yang harus mengaturantaa hubungan bagian-bagian yang menjadi komponennya, agar ketiga fungsi lainnya saling bekerjasama (A,G,L).
4)      (L) Latency = Latensi atau pemeliharaan pola
Latensi merupakan fungsi yang harus melengkapi, memelihara dan memperbaiki sistem agar tetapa berada dalam kondisi yang baik dengan terus memberikan motivasi pada sistem lainnya.
Robert K. Merton juga turut menyumbangkan pemikirannya dalam pengembangan teori Fungsionalisme Struktural. Merton menitikberatkan pada “fungsi atas fakta-fakta sosial” (Salim, 2007). Menurutnya, fungsi tersebut ada yang bersifat manifest (yang diharapkan) dan fungsi latent (yang tersembunyi, tidak diharapkan). Dalam fungsi tersebut, tekanan diberikan kepada suatu hal, sistem, struktur yang mempunyai sebuah fungsi. Fungsi tersebut memiliki kecenderungan arah pada hal yang sesuai dan diharapkan, dan hal yang tersembunyi atau tidak diharapkan.
Konsep fungsionalisme struktural Merton, dapat digunakan sebagai alat untuk memahami fungsi dari governance pada Kecamatan Paguyangan dan Brebes. Pada pemerintahan tersebut apakah sudah memiliki “fungsi” yang bersifat manifest dari perspektif masyarakat, seiring diimplementasikan good governance melalui reformasi birokrasi.
Secara garis besar, teori fungsionalisme struktural memberikan gambaran-gambaran sebagai berikut:
a.         Masyarakat berada dalam keadaan yang berubah secara seimbang
b.         Menekankan pada keteraturan masyarakat
c.         Setiap elemen masyarakat berperan dalam menjaga stabilitas
d.        Cenderung melihat masyarakat secara informal diikat oleh norma, nilai, dan moral
e.         Masyarakat disatukan oleh kerjasama sukarela atau konsensus bersama oleh kedua-duanya.



C. METODELOGI PENELITIAN
1.      Dasar Penelitian
Penelitian ini akan menggunakan metode kualitatif. Pendekatan kualitatif ini digunakan sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan deskripsi berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati (Moleong, 2002). Penggunaan metode penelitian ini disesuaikan dengan tujuan pokok penelitian, yaitu untuk mendeskripsikan, memahami, dan mengungkap secara komprehensif dari implementasi good governance melalui reformasi birokrasi pada pemerintah Kecamatan Paguyangan dan Brebes, Kabupaten Brebes.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif karena dalam penelitian ini, akan memberikan gambaran mengenai implementasi good governance melalui reformasi birokrasi pada pemerintah Kecamatan Paguyangan dan Brebes, Kabupaten Brebes. Selain itu, untuk memberikan gambaran pemahaman tentang kepemerintahan yang baik dari perspektif pemerintah dan masyarakat.

2.      Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada Pemerintah Kecamatan Paguyangan dan Kecamatan Brebes, Kabupaten Brebes. Alasan mengapa dipilihnya dua kecamatan tersebut sebagai lokasi penelitian didasari oleh beberapapertimbangan, diantaranya sebagai berikut:
a.       Masyarakat dan Pemerintah Kecamatan Paguyangan merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Brebes yang berada pada titik paling jauh dari pusat pemerintahan tingkat kabupaten.
b.      Kecamatan Paguyangan diasumsikan oleh masyarakat Kabupaten Brebes pada umumnya sebagai daerah rural.
c.       Masyarakat dan Pemerintah Kecamatan Brebes merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Brebes yang berada pada titik paling dekat dari pusat pemerintahan tingkat kabupaten.
d.      Kecamatan Brebes diasumsikan oleh masyarakat Kabupaten Brebes pada umumnya sebagai daerah urban.

3.      Fokus Penelitian
Sesuai dengan judul penelitian, maka sasaran atau fokus pada penelitian ini adalah pemerintah Kecamatan Paguyangan dan Brebes, serta masyarakat Kecamatan Paguyangan dan Brebes. Sedangkan permasalahan pada penelitian ini difokuskan pada pemahaman dan implementasi budaya good governance.
Fokus penelitian ini dapat diperinci lagi kedalam sub-fokus penelitian, yaitu:
a.       Pemahaman kepemerintahan yang baik perspektif pemerintah Kecamatan Paguyangan dan Brebes.
b.      Pemahaman kepemerintahan yang baik perspektif masyarakat Kecamatan Paguyangan dan Brebes.
c.       Implementasi kepemerintahan yang baik dalam public services oleh pemerintah kecamatan Paguyangan dan Brebes pada program reformasi birokrasi.

4.      Sumber Data
Sumber data dalam penelitian kualitatif berupa kata-kata, tindakan, dan data tambahan seperti dokumen, dan lain-lain. Data penelitian ini dapat diperoleh dari berbagai sumber sebagai berikut:



a.       Data Primer
Informan ini secara sukarela menjadi anggota penelitian meskipun hanya bersifat informasi. Informan yang dapat memberikan informasi tentang objek kajian yang diperlukan oleh peneliti. Informan ini dipilih dari bebepara orang yang dapat dipercaya dan mengetahui objek yang akan diteliti.
1)      Subyek Penelitian
Subyek adalam penelitian ini adalah pemerintah yang bekerja di instansi kecamatan Paguyangan dan Brebes, serta masyarakat yang memanfaatkan pelayanan pemerintah Kecamatan Paguyangan dan Brebes.
2)      Informan
Informan adalah seorang yang dapat memberikan informasi guna memecahkan masalah yang diajukan dan diungkap. Informan merupakan individu-individu tertentu yang diwawancarai untuk keperluan informasi, yaitu orang yang dapat memberikan informasi atau keterangan atau data yang diperlukan oleh peneliti (Koentjaraningrat, 1983).
Informan ini dipilih dari orang yang dapat dipercaya dan mengetahui secara mendalam. Informan yang dapat memberikan informasi tentang obyek kajian yang diteliti oleh peneliti adalah sebagai berikut:
a)      Masyarakat yang sedang memanfaatkan public service Kecamatan Paguyangan dan Brebes.
b)      Masyarakat Kecamatan Paguyangan dan Brebes pada umunya.
c)      Tokoh masyarakat.
d)     Pegawai dan pemerintah Kecamatan Paguyangan dan Brebes.

b.      Data Sekunder
Data dalam penelitian ini selain diperoleh dari sumber manusia, maka sebagai bahan tambahan juga diperoleh dari sumber tertulis, yaitu:
1)      Sumber Pustaka tertulis dan dokumentasi
Sumber pustaka tertulis ini digunakan untuk melengkapi sumber data informasi. Sumber data tertulis ini meliputi kajian-kajian tentang pemerintahan, seperti laporan penelitian ilmiah, skripsi, buku-buku yang relevan, media massa, dan lain-lain.
2)      Foto
Foto sekarang ini sudah banyak digunakan sebagai alat untuk membantu keperluan penelitian kualitatif. Ada dua kategori foto, yaitu foto yang dihasilkan orang di luar peneliti dan foto yang dihasilkan oleh peneliti sendiri (pribadi).

5.      Teknik Pengumpulan Data
1.      Teknik Observasi
Observasi atau pengamatan digunakan untuk memperoleh gambaran yang tepat mengenai perilaku pemerintah dan masyarakat serta situasi-situasi yang berkaitan dengan topik di lokasi penelitian. Teknik observasi dilaksanakan pengamatan secara langsung terhadap obyek yang diteliti dalam kurun waktu yang cukup lama. Teknik observasi merupakan kegiatan yang pemusatan perhatian terhadap suatu objek dengan menggunakan seluruh alat indera (Arikunto, 1996). Pada dasarnya observasi sebagai teknik utama untuk mendapatkan informasi dimana dalam proses penelitian, peneliti melihat perilaku keadaan (setting) alamiah, melihat dinamika, melihat gambaran perilaku berdasarkan situasi yang ada (Black & Champion, 1999).
Penggunaan teknik observasi yang terpenting adalah mengandalkan pengamatan dan ingatan peneliti. Akan tetapi untuk mempermudah pengamatan dan ingatan, maka peneliti ini menggunakan (1) catatan-catatan, (2) alat elektronik seperti recorder dan kamera (3) pengamatan, (pemusatan pada data-data yang tepat), dan (4) menambah persepsi atau pengetahuan tentang obyek yang diamati.

2.      Teknik Wawancara
Wawancara adalah suatu kegiatan komunikasi verbal dengan tujuan untuk mendapatkan informasi (Black &Champion, 1999). Metode wawancara atau metode interview, mencakup cara yang digunakan oleh sesorang untuk tujuan tugas tertentu, mencoba mendapatkan keterangan atau pendirian secara lisan dari seorang informan, dengan bercakap-cakap berhadapan muka dengan orang tersebut (Koentjaraningrat, 1983). Sedangkan menurut Rachman, metode wawancara adalah metode pengumpulan informasi dengan cara mengajukan sejumlah pertanyaan secara lisan untuk dijawab secara lisan pula (Rachman, 1999).
3.      Dokumentasi
Menurut Suharsimi, metode dokumentasi yaitu cara pengambilan data menggunakan barang-barang tertulis, buku-buku, majalah, dokumen peraturan, notulen rapat, catatan harian yang berhubungan dengan masalah penilitian (Suharsimi, 1996). Penelitian ini, metode dokumentasi digunakan untuk memperoleh data dalam pengimplementasian Good Governance antara pemerintah kecamatan dan masyarakat sekitar. Data tersebut dapat digunakan untuk menambah data yang ada pada peneliti.
Alat dan teknik pengumpulan data, peneliti menggunakan 3 (tiga) metode yaitu observasi, wawancara dan dokumentasi. Peneliti menggunakan ketiga metode ini karena cukup relevan dalam pengumpulan data.




6.      Metode Analisis Data
Bogdan dan Biklen (dalam Moleong 2002) mengemukakan bahwa analisis data kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilih-milihnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, mengemukakan apa yang penting dan apa yang dipelajari dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain.
Menurut Miles dan Huberman (1999) tahap analisis data adalah sebagai berikut:
a.        Pengumpulan data.
Peneliti mencatat semua data secara objektif dan apa adanya sesuai dengan hasil observasi dan wawancara di lapangan.
b.        Reduksi Data.
Reduksi data yaitu memilih hal-hal pokok yang sesuai dengan fokus peneliti. Reduksi data merupakan suatu bentuk analisis yang menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu dan mengyayasankan data-data yang direduksi memberikan gambaran yang lebih tajam tentang hasil pengamatan dan mempermudah peneliti untuk mencari sewaktu-waktu diperlukan.
c.        Penyajian Data.
Penyajian data adalah sekumpulan informasi tersusun yang memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Penyajian data merupakan analisis dalam bentuk matrik, network, chart atau grafis sehingga peneliti dapat menguasai data.
d.       Pengambilan Kesimpulan atau Verifikasi.
Peneliti berusaha mencari pola, model, tema, hubungan, persamaan, hal-hal yang sering muncul, hipotesis dan sebagainya, jadi dari data tersebut peneliti mencoba mengambil kesimpulan. Verifikasi dapat dilakukan dengan keputusan, didasarkan pada reduksi data, dan penyajian data yang merupakan jawaban atas masalah yang diangkat dalam penelitian.Keempatnya dapat digambarkan dalam bagan berikut (Miles & Huberman,1999)



Keempat komponen tersebut saling interaktif yaitu saling mempengaruhi dan terkait. Diawali dengan peneliti melakukan penelitian di lapangan yaitu pada mayarakat dan pemerintah Kecamatan Paguyangan dan Brebes dengan mengadakan wawancara atau observasi yang disebut tahap pengumpulan data. Setelah itu diadakan seleksi data atau penyederhanaan. Data yang telah disederhanakan akan dilakukan pengelompokan dan dianalisa menggunakan teori Fungsionalisme Struktural. Setelah itu disusun secara sistematis sehingga dapat ditarik kesimpulan. Untuk menarik kesimpulan, data yang sudah tersusun rapi dan sistematis disajikan dalam bentuk kalimat yang difokuskan pada kajian Antropologis  mengenai implementasi good governance melalui reformasi birokrasi pada pemerintah Kecamatan Paguyangan dan Brebes. 
C. DAFTAR PUSTAKA

Albrow, Martin. 2005. Birokrasi: Cet. II. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Arikunto, Suharsimi. 1996. Prosedur  Penelitian (Suatu Pendekatan Praktik). Jakarta: Rineka Cipta.
Azhari, A. Kholik. 1994. Birokrasi dan Tuntutan Demokratisasi. Makalah Seminar. AIPI XI.
Black, James & AD.J Champion. 1999. Metode dan Masalah Penelitian Sosial. Bandung: Replika Aditama.
Budiman, Arief & Philips Quarles van Ufford. 1988. Krisis Tersembunyi dalam Pembangunan: Birokrasi-Birokrasi dalam Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia.
Coleman, James. S. 2008. Dasar-Dasar Teori Sosial. Bandung: Penerbit Nusa Media.
Huda, Ni’matul. 2007. Lembaga Negara dalam Masa Transisi Demokrasi. Yogyakarta: UII PRESS.
Islamy, M. Irfan. 1998. Prinsip-prinsip Perumusan Kebijakan Negara. Jakarta: Bina Aksara.
Joyomartono, Mulyono. 2008. Perubahan Kebudayaan dan Masyarakat dalam Pembangunan. Brebes: IKIP PRESS
Koentjaraningrat. 1980. Kebudayaan dan Mentalitet Pembangunan. Jakarta: Gramendia.
Miles B. Mathew & Huberman,. 1999. Analisis Data Kualitatif. Jakarta: UI PRESS.
Moleong, Lexy. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Poerwadarminta, WJS. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia: Edisi III. Jakarta: Balai Pustaka.

2 komentar:

  1. Tya yg rajin maaf sedang atau sdh selesai nyusun skripsinya..my suggestion kalau berkenan, analisa kualitatif membutuhkan pemetaan isu sentral sehingga kuat di rumusan masalah dan dgn menarik benang merah permasalahannya analisis lancar.....sukses ya

    BalasHapus