Rabu, 30 November 2011

Peran Badan Reintegrasi Damai Aceh (BRDA) DALAM PROSES Disarmament, Demobilitation, dan Reintegration (DDR) Di Aceh Pasca Perjanjian Helsinki 2005

Dengan adanya Bencana Tsunami yang melanda Aceh dan menewaskan ratusan ribu rakyat, menghancurkan semua banguunan yang ada dan membuat banyak rakyat Aceh kehilangn keluarga dan pekerjaan mereka. Hal tersebut membawa banyak perubahan-perubahan sosial. Menyadari hal itu masyrakat aceh merasa memerlukan bantuan dengan kata lain mereka memiliki kepentingan-kepentingan untuk memperbaiki kehidupan sosial ekonomi mereka. Hal itu dapat dikatakan sebagai faktor pendorong GAM menandatangani Perjanjian perdamaian.
Denagn terbentuknya Nota kesepahaman di Helsinki sebagai hasil gemilang antara Pemerintahan Indonesia dengan GAM untuk mengakhiri konflik Aceh secara menyeluruh. Pelaksanaan butirr-butir kesepakatan yang ada pada Nota Kesepahaman dapat dilihat dari GAM yang telah menyerahkan 840 senjata, kemudian dari pihak RI memulangkan pasukan dan polusi 31.681 dari Provinsi Nangro Aceh Darussalam (NAD), dan GAM semua resmi ditarik.
Salah satu bagian dari nota kesepahaman membantu proses reintegrasi mantan kombantan GAM dan tahanan politik (tapol) ke Desa-desa dan masyarakat Aceh yang meliputi “kemudahan ekonomi”, “rehabilitasi harta bebda publik dan perorangan yang hancur atau rusak akibat konflik”, da “alokasi tanah pertanian , pekerjaaan, dan jaminan sosial” untuk mantan kombantan GAM, tapol serta masyarakat yang terkena dampak.
Akan tetapi pelaksanaan butir-butir nota kesepahaman tidak berjalan dengan baik, karena peralihan dari kehidupan Militer ke kehidupan masyarakat biasa akan memunculkan konflik baru. Mengapa demikian ?


Dalam proses peralihan tersebut busa membuat berbagai kelompok, termasuk perempuan tersisih dari proses peraliahan itu, karena Kombantan GAM merasa masih berkuasa atas rakyat Aceh. Jika hal itu tetap dipertahankan maka akan membuat masyarakat terbagi menjadi dua lapisan. Seperrti yang dikatakan oleh Ralf Dahrendorf, yaitu masyarakat Superordinat dimana mereka adalah kombantan GAM yang ingin mempertahankan status quo (kekuasaan dan wewenang). Dan lapisan yang kedua masyarakat Subordinat mereka adalah masyarakat biasa.
Konflik baru yang muncul dari perdamaian RI dengan GAM bukan hanya konflik yang sudah dijelaskan diatas, melainkan konflik yang muncul dari belum siapnya kombantan GAM untuk berintegrasi dengan masyarakat biasa. Konflik itu muncul karena kombantan GAM belum beradaptasi dengan masyarakat biasa, mereka harus melakukan hal-hal yang jauh berbeda dari kehidupan mereka sebelumnya sebagai angkatan Militer. Seperti misalanya, mereka biasanya mengangkat senjata  sekarang mereka sudah tidak bisa lagi melakukan hal itu, kemudian sekarang mereka harus terbiasa melakukan hal-hal yana biasa dilakukan oleh masyarakat biasa (berkebun, bertani, dll). Hal tersebutlah yang menjadi salah satu faktor penghambat reintegrasi kombantan GAM degan masyarakat biasa.
Dalam proses reintegrasi sebagai upaya perdamaian yang langgeng di Aceh, tidak hanya menjadi tanggung jawab Pemerintah, melainkan menjadi tanggung jawab kombantan GAM dan juga seluruh masyarkat Aceh. Harusnya  reintegrasi tersebut bisav terwujud denagn baik karena kombantan GAM dan masyarakat biasa memiliki Pengalaman yang sama mereka perna mengalami suka duka yang sama pula pada saat terjadi bencana tsunami. Akan tetapi munkin rasa persaman diantara mereka belum bisa mendukung terciptanya reintegrasi.
Proses reintegrasi eks kombantan GAM ke masyarakat biasa memerlukan adanya kesadaran bersama bahwa mereka dalah satu bangsa  dan satu tanaha air yaitu NKRI sehingga diantara mereka bisa tumbuh rasa solidaritas sosial yang kuat.














Tidak ada komentar:

Posting Komentar